Mianto Nugroho Agung
Jum’at (30/9) Wilardjo mengakhiri diskusi mahaberat dan radikal bulan September tentang topik Landasan Ilmu Pengetahuan melalui artikel ‘Sains Dasar’ di Kompas. Diskusi dibuka Mart (5 dan 24/9). Namun, kata Wilardjo, Hidayat juga melibatkan diri. Sebenarnya Joesoef (7/9), Aulia (21/9), dan ASP (29/9) juga membahas, melaporkan, dan mengiklankan hal ihwal topik ini.
Temuan dan Maknanya
Menurut Suriasumantri (2003, h.105) terdapat tiga landasan ilmu: Ontologi (mengenai apa), Epistemologi (mengenai bagaimana disusun), dan Aksiologi (untuk apa) ilmu disusun. Secara axiologi Joesoef mengatakan kesejahteraan bangsa tak kunjung dinikmati rakyat Indonesia, karena itu ia menyalahkan sivitas akademika karena ‘tidak menunaikan tugas khas dan kekaryaannya yang spesifik, yaitu tak peduli pada masalah krusial bangsa dan abai pada pembentukan komunitas ilmiah’. Mart (melalui Selamatkan Indonesia) mengingatkan ‘Indonesia mengalami kemunduran dalam bidang ilmu pengetahuan’. Dan, karena itu –tegas Mart- Indonesia menuju kehancuran peradabannya. Maka sinyal SOS diserukannya: Selamatkan Indonesia!. Aulia melaporkan hasil Forum Dialog Kebijakan Internasional dari Task Force on Theachers for Education for All di Bali (13-14/9) yang menyimpulkan pendidikan untuk semua bakal gagal terwujud pada 2015 karena ‘kualitas dan kuantitas guru tidak merata di antara daerah’. ASP menulis paparan badan PBB tentang Indeks Pembangunan Pendidikan Indonesia yang ‘hanya’ berada di peringkat 69 dari 127 negara. Artinya terjadi pengeroposan proses pendidikan di Indonesia. Wilardjo ‘mengunci’ dengan menyatakan perlunya memberi prioritas pembangunan sumber daya manusia dalam gerakan pembangunan infrastuktur sains.
Makna temuan itu, peringatan keras dan tuntutan agar seluruh stakeholder keilmuan Indonesia segera melakukan konsolidasi untuk menguatkan dan membangun ‘sosok’ keilmuan Indonesia yang sinergis dan visioner. Di wilayah Aksiologi, temuan itu dapat dibedakan menjadi: pertama, fakta bahwa kontribusi ilmu belum dirasakan masyarakat secara signifikan. Kedua, kehancuran peradaban Indonesia potensial akibat kemunduran ilmu pengetahuannya. Ketiga, kemunduran ilmu pengetahuan Indonesia antara lain diakibatkan oleh sivitas akademika yang tidak menunaikan tugas khas dan kekaryaanya yang spesifik, tidak adanya komunitas ilmiah Indonesia yang solid dan bermutu, kualitas dan kuantitas pengajar tidak merata di setiap wilayah, dan rendahnya Indeks Pembangunan Pendidikan di Indonesia. Keempat, perlunya memberi prioritas pembangunan sumber daya manusia dalam gerakan pembangunan infrastuktur sains.
Temuan yang digelontorkan Kompas sepanjang September itu sangat mengejutkan sekaligus memrihatinkan, di satu sisi. Dan, kontribusi media yang luar biasa bagi bangsa ini, teristimewa di bulan September yang berisi Hari Pers Nasional, di sisi lain, sangat mendidik. Bangsa yang pernah menjadi tujuan belajar bangsa-bangsa Asean ini kini begitu terpuruknya. Bagi awam, semua temuan itu benar-benar di luar dugaan meski selama ini mereka tahu betapa besarnya jarak antara mereka dan para ilmuwan. Lebih-lebih ilmuwan yang membenamkan diri ke dalam riset eksperimental atau laboratorium dan ilmuwan yang giat mengembangkan ilmu. Awam seakan ditinggal bahkan ditelikung di titik paling menyakitkan karena ilmuwan tidak kunjung memberikan sumbangsih penad bagi kesejahteraan rakyat. Lebih-lebih, banyak ilmuwan yang meninggalkan tanggung jawab mereka dengan terjun ke dunia praktis pragmatis atas nama entah, yang sulit dipahami rakyat. Tak seperti yang diduga, temuan itu sekaligus membuka mata dan bathin rakyat betapa ternyata ambruknya ilmu pengetahuan bisa menyebabkan ambruknya sebuah bangsa.
Pada titik ini tentu sangat kerdil, sia-sia, dan kontraproduktif jika saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab. Proses penyadaran telah bergulir dan bakal menyentuh semua elemen dasar. Itu bisa berarti dua hal: pesimis dan optimis terhadap masa depan Indonesia. Karena itu, kita harus sepakat proses kehancuran peradaban Indonesia merupakan masalah kita bersama yang harus dicarikan solusi oleh semua elemen bangsa. Pesimis, karena sebagai bangsa, Indonesia jatuh menjadi bangsa tak berharga di antara bangsa lain yang dunia ilmunya begitu tinggi dan berkembang. Optimis, jika semua temuan tadi menjadi cambuk untuk lebih giat memerbaiki diri demi menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa besar lainnya. Pilihan harus segera dilakukan. Hanya sekali memilih dan tanpa titik balik. Syukurlah jika kita memilih optimis, setidaknya seperti yang tersirat diinginkan Hidayat, Mart, Joesoef, ASP, dan Aulia serta sebagian pihak yang memahami arti strategis pengembangan ilmu.
Titik Pangkal
Dalam dunia Filsafat Ilmu dan Logika Formal, titik pangkal merupakan indikator penentu pengambilan keputusan tepat. Karenanya pemeriksaan kebenaran titik pangkal wajib dilakukan. Titik pangkal musibah kemunduran peradaban Indonesia juga harus dicari dan diuji untuk mengetahui akar masalahnya. Secara subyektif dapat saja sembarang elemen atau subyek dipilih: ilmuwannya, universitasnya, pemerintahnya, sistemnya, infrasturkturnya. Atau secara bersama ditetapkan sebagai titik pangkal yang harus dipecahkan. Penulis melihat titik pangkal yang potensial –tanpa berpretensi menyalahkan dan melempar tanggung jawab- diberdayakan adalah kurikulum dan sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Kurikulum pendidikan tinggi Indonesia jelas sangat pragmatis dengan kecenderungan mengondisikan mahasiswa pada pilihan melayani dunia kerja. Itulah sebabnya visi kuliah mahasiswa adalah kerja (kantoran kalau bisa). Mahasiswa menyibukan diri berbenah menjadi tenaga kerja. Sehingga, terasingkan dari eksistensinya yang lain yaitu sebagai pengembang dan pengamal ilmu. Maka langkah awal mengurai masalah ini adalah dengan menata ulang kurikulum Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) dengan memberi pembobotan lebih besar pada Mata Kuliah Filsafat Ilmu, Logika, Kemampuan Berbahasa, Metodologi Penelitian, dan Teknik Penulisan Ilmiah. Tenaga akademik, kepustakaan, akses ke sumber, dan fasilitas penunjang lainnya harus ditingkatkan. Paradigma proses belajar mengajar harus lebih konstruktivistik ketimbang yang behavioristik. Minimal kombinasi antara kognitifistik, sosialistik dan humanistik agar mahasiswa tidak sekadar belajar tetapi tahu cara belajar. MKDU harus benar-benar menjadi fondasi yang memerkokoh bangunan keilmuan dan penggerak semangat belajar mahasiswa. Tujuan ultimanya, mahasiswa memiliki kesadaran tentang makna kuliah: melayani dunia kerja, mengembangkan ilmu, dan mengabdi kepada rakyat.
Karena kita sepakat kehancuran peradaban Indonesia harus kita atasi bersama, maka, seluruh elemen bangsa Indonesia harus bersinergi saling memberdayakan diri dengan lebih peduli dan giat kepada setiap usaha pembangunan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu. Riset mendalam dan beragam, publikasi karya ilmiah dan buku yang gencar, dan pengabdian masyarakat yang intensif harus seiring sejalan dengan penguatan melalui MKDU. Pemerintah, dunia usaha, rakyat awam, dan ilmuwan wajib menetapkan kebodohan (bidang ilmu) menjadi musuh bersama.
Akhirnya, di sela-sela kenyataan begitu buram dan muramnya dunia ilmu Indonesia sehingga mengancam eksistensi Indonesia, masih juga ada secercah cahaya: Kompas melansir peringkat Perguruan Tinggi Indonesia yang –puji syukur- menunjukkan perbaikan pada beberapa universitas!
Pertanyaan Sisa
- "Kebenaran' sebagai tanda-tanda atau gejala-gejala seperti apa yang Anda lihat dari begitu banyaknya kenyataan yang menunjukkan Indonesia menuju kepada 'ambruknya peradabannya sendiri" seperti yang diramalkan Terry Mart?
- Bagaimana cara "Filsafat Ilmu & Logika" membantu menyelamatkan Indonesia?
- Apa peran yang seharusnya dilakukan/dimainkan oleh mahasiswa sebagai bagian dari kelompok kelas menengah di Indonesia untuk menyelamatkan negara mereka?
- Secara aksiologis, rakyat dianggap tidak dipedulikan ilmuwan, bahkan rakyat dibiarkan menderita sendirian. Nah, apa yang sebenarnya harus dikerjakan filsuf atau ilmuwan agar rakyat merasa kembali dipedulikan?
Mianto Nugroho Agung, Pengajar di Fakultas Psikologi UKSW dan di STT Abdiel, Penyusun buku ‘Filsafat Ilmu dan Logika’.