Kamis, 29 September 2011

SINETRON INDONESIA: DUNIA MONOKULTUR

Waktu musim cinetron dengan judul cinta-cintaan: Cinta, Cinta Ini Cinta Itu dll., kami sekeluarga sering ketemuan kepentingan nonton. Sebagian ada yang ingin nonton Cinta ini, sebagian Cinta itu, sebagian Liga Inggris, sebagian ... dst. Ramai sekali rumah kami meski hanya berisi lima jiwa. Saking seringnya ketemuan begitu, sesekali kami saling lirik isi tontonan Sang Jendral Remote malam itu. Ada yang menggelitik sewaktu menyaksikan sinetron Cinta Fitri. Ya, minimal saat saya nonton. Mudah-mudahan saat saya tidak nonton ada orang Hindunya, Budhanya, Kristennya, Katoliknya, bukan satu agama saja. Yaa  ... gimana, ya. Janggal ajalah. Bayangkan, cerita dengan setting Indonesia yang multikultur dipaksakan monokultur. Iya, baik tokoh maupun nuansanya semua sangat satu agama, MONOKULTUR! Dan, ketika memerhatikan sinetron lain, tidak jauh berbeda alias beda-beda tipis monokulturnya. Apa pasal? Ini dia kira-kira ...
  1. Sinetron yang ditayangkan setiap hari di prime time pasti bersifat kejar tayang (striping) yang mengharuskan tim kreatifnya tidak sempat melakukan riset sehingga saat develop cerita mereka cuman memikirkan cepat selesai. 
  2. Hasil riset yang seabreg kadang-kadang hanya dipakai bagian generalnya baik itu stereotype atau stigmatisasi. Yang stereotype, kalau Jawa ya berblangkon, baju lurik, kebaya ala kadarnya, ngomong kedesa-desaan. Kalau Batak ya horasnya, bah-nya, lengkap dengan ucok dan butetnya. Kalau Ambon ya intonasi tarikan di akhir kata/kalimat, dan lain-lain. Stigmatisasi, ya kalau Batak pasti preman, kalau Jawa pasti pembantu, kalau Betawi pasti bloon, kalau ... dst. Padahal itu semua -stereotipe dan stigmatisasi- salah muluuuu ... Tapi, ya, ketika menuliskan perwatakan, treatment, dan develop srcriptwriter kan ada di balik meja. Masih muda dan bekerja sendiri nun jauh di apartemen nan steril dari realitas sosial demi produktivitas hari itu. Kalau skenario gagal ditulis, pecat ...
  3. Produsen yang mau main aman saja. Sinetron terjajah oleh industrialisasi budaya populer yang mengabaikan realitas sosialnya. Atas nama 'dari pada salah tafsir atas agama dan budaya lain' maka pemaksaan  (baca: pemerkosaan) realitas soial dan eksploitasi budaya sendiri dijalani. Kalau Gayus menyelewengkan uang pajak disebut koruptor, Kalau PNS menyia-nyiakan waktu kerja produktifnya disebut koruptor, maka kalau scriptwriter memerkosa realitas liyan dan mengeksploitasi budaya sendiri sesungguhnya .... (hii, isi sendiri. Takut dimarahi Mbak Luvie Melati di Serunya! Screenwriter sana).
  4. Penayang lebih berat ke sisi bisnis (tontonan) dari pada ke tanggung jawab moral (tuntunan). Ketika sudah aman dengan monokultur tertentu dan laku dijual, buat apa capek-capek menambahkan kultur lain yang berpotensi merusak bisnis. Penayang sering dihadapkan the invisible pressure yang sangat destruktif dari pada teror bom bunuh diri. Bagi SCTV (kemudian Indosiar) yang saat itu menayangkan Cinta Fitri pasti menimbang dengan cermat kalau mau memaksakan masuknya Pendeta dalam cerita jika tidak ingin dicap adanya KRISTENISASI melalui sinetron. Nah di Indonesia ini, bukankah kata KRISTENISASI itu begitu menakutkan sehingga untuk ditulis saja resikonya segudang.
  5. Budaya riset mendalam dianggap memperberat biaya produksi. 
  6. Rendahnya nasionalisme stakeholder industri sinetron. Apakah adagium 'bsinis tidak saling berhubungan signifikan dengan nasionalisme' dipeluk secara buta, kita tidak tahu tetapi nyatanya kemauan mengedepakankan nilai-nilai nasionalisme (yang termudah mengangkat multikulturalismen) saja sinetron kita (baca: Indonesia!) enggan (dengan berbagai alasan dan argumen yang bisa mereka kemukakan). Nasionalisme dan bisnis sinetron seakan berada di ruang yang berbeda nun jauh tak terukur. Memang atribut nasionalisme bisa muncul di sekitar bulan Agustus, tetapi sangat dangkal dan periferial serta artifisal. 
  7. Tidak adanya lembaga pemberi sertifikasi bagi scriptwriter. Seandainya untuk menjadi scriptwriter seseorang diharuskan memiliki sertifikat yang mengusung kurikulum sertifikasi nasionalisme, pluralisme, kebudayaan lokal, kontekstualisasi, PKLH, ketahanan negara, psikologi sosial, dasar-dasar sosiologi, dll. maka mungkin wajah sinetron kita agak lain barangkali, ya.
  8. 'Mr. Modal' is the boss, Mrs. Rating is the Bigboss'. Jika satu sinetron seharga Rp. 600 jutaan maka tentu cerita harus menghambanya. Modal dan Rating are the highgest rulling . Semua harus tunduk kepada modal dan rating. Dalam benak produsen dan penayang sinetron ada kata suci, 'dari pada sinetron bernilai tuntunan tetapi tidak laku, lebih baik ... '. Taruhannya Rp. 600 juta, men. Dan, hengkangnya pemasang iklan yang memiliki mata tajam di lembaga pemeringkat.
Dan masih banyak lagi sebab mengapa kaca mata kuda merk monokultur terpaksa atau dengan sengaja dipakai para produsen dan penayang sinetron kita. Lha konsumennya? Kura-kura dalam perahu, ya jelas sangat berparadigma monokultur dong wong jelas-jelas mereka yang menikmati tontonan itu. Kalau tidak ...

SEPULUH HAL YANG MEMBUAT IKLAN JADI MERAGUKAN

Kami sekeluarga sering memerhatikan berbagai detil iklan dan kemudian mendiskusikannya sambil lalu. Pokok perhatian kami sering liar ke mana-mana kalau sudah mengomentari iklan. Salah satu yang ingin kami kemukakan di sini adalah sepuluh hal yang membuat iklan menjadi meragukan kami dan atau konsumen lain yang teliti dan kurang kerjaan. Just kidding. Meragukan oleh karena dengan dimuatnya hal-hal itu keinginan menggebu untuk mengonsumsi produk tertentu menjadi pudar. Hal-hal itu terasa mengganggu oleh karena tidak ada penjelasan lebih lanjut. Paling maksimal diberi catatan 'Telepon layanan konsumen di ... ". Beli produk seharga Rp. 100 harus meluangkan waktu nelepon layanan konsumen? Apakah gerangan kesepuluh hal itu, ini dia:
  1. Selama persediaan masih ada. Nah, kapan konsumen tahu persediaan masih ada, atau bahkan tidak pernah ada? Tidak pernah satu pun penjual produk yang mengumumkan persediaan dimaksud secara terbuka dan meyolok sehingga konsumen bisa mengetahui, bukan?
  2. Syarat dan ketentuan berlaku. Nah, ini lagi! siapa yang membuat syarat untguk siapa dan apa urusannya tiba-tiba konsumen 'dipagari' dan dipaksa tunduk kepada syarat yang ditentukan sepihak demikian? Pilihan banyak, uang-uang konsumen sendiri, yang butuh siapa? Ha ha ha ... emosi.
  3. Diskon 70%, jual rugi, tidak cari untung. Wah, ini pedagang belajar teori pemasan dari siapa, ya? Siapa yang nggak geli dengan ikaln seperti ini? Yah, paling-paling membatin 'jangan-jangan harganya sudah dinaikkan sebelum didiskon'. Boleh to, mumpung membatin belum dikenai pajak?
  4. Awas atau hati-hati penipuan! Btw, masih ingat pepatah 'maling teriak maling'? 
  5. Hari ini bayar, besok gratis! Lah memangnya ada hari esok? Setiap hari yang dijalanai untuk bertransaksi kan 'hari ini'? Kira-kira dong kalau ngiklan.
  6. Bersambung ...

KIOS INSPIRASIONAL: PINTU SRAWUNG

Pada tanggal 30 Januari 2009 keluarga saya memutuskan membuka kios yang menjual kebutuhan sehari-hari anak kos kami. O, iya, beberapa tahun ini kami  memang menyewakan 14 kamar yang tidak sengaja kami buat saat merenovasi rumah kami. Selain tujuan mendapatkan tambahan finansisal, kedua usaha ini memungkinkan kami untuk bergaul lebih luas. Oleh karena itu usaha ini kami sebut sebagai 'Pintu Srawung' alias pintu bersosialisasi. Dengan kios ini setidaknya terdapat hal positif yang bisa kami petik, yaitu:

1. Lebih sering didatangi dari pada mendatangi. Kalau dahulu kami harus menghitung-hitung banyak hal untuk srawung dengan tetangga sekitar, kini justru kami yang didatangi mereka. 
2. Aliran informasi lebih deras dan beragam. Kalau dahulu dengan berbagai rasa sungkan kami harus mencari informasi sekitar siapa yang sakitkah, siapa yang meninggalkah, siapa yang bakal menyelenggarakan hajatkah, siapa yang melahirkankah, dan berbagai informasi 'remeh' semacam itu, kini tanpa kami minta informasi itu 'mendatangi' kami. Selain lebih cepat, juga lebih beragam sumber. Sehingga, tingkat kebenarannya lebih terandalkan. Kalau perlu proses check & recheck bisa kami lakukan.
3. Proses silaturahmi lebih intensif. Kalau dahulu ketemuan dengan tetangga selain jarang juga kalau bisa bertemu, hanya sebentar saja. Itu pun banyak basa-basinya. Kini kami bisa lebih sering ketemu, lebih mendalam membahas sesuatu masalah, lebih beragam topik pembicaraan, lebih banyak yang terlibat, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kami bisa hapal tenang segala-sesuatunya isi-A, si-B, si-C, dan sebagainya. 
4. Meningkatnya fungsi rumah kami dari sekadar rumah tinggal menjadi pos serba guna. Sejak di Jawa Timur, sesuai dengan karakter masyarakatnya yang sangat terbuka, pintu rumah kami selalu terbuka saat kami tidak tidur atau bepergian. Saat itu kami hanya dapat angin dan karena itu masuk angin ketika pintu kami kami buka. Kalau ada tamu, belum tentu sehari satu. Dari pada pintu terbuka percuma lebih baik kami manfaatkan buka kios. Nah, ini untungnya, ketika sudah ada kios, rumah kami jadi tempat kumpul, membahas masalah kehidupan, barter informasi, dan bahkan tempat melakukan konseling pastoral kilat. Karena tertib buka dari jam 5 pagi dan baru tutup jam 10 malam maka kios kami sangat diandalkan konsumen kami. Bahkan di jam-jam rawan itu keserbagunaannya meningkat. 
5. Kami -terutama anak-anak kami- jadi lebih memahami realitas lokal sehingga proses berempati terhadap kesulitan sesama meningkat dan tepat.
6. Kualitas dan kuantitas srawung kami meningkat sangat pesat dan positif serta signifikan. Sebagai pendatang baru di Salatiga (1992), banyak hal yang masih perlu kami pelajari. Kalau hanya mengandalkan srawung formal (pertemuan KK, rapat pengurus RT, begadangan, dolan, dll.) maka hanya permukaan saja yang kami peroleh. Padahal, banyak hal yang berbeda antara budaya Jawa Salatiga dan budaya Jawa Malang/Trenggalek tempat kami suami isteri berasal. Dengan kios kami ini, gelontoran informasi kebudayaan dan bahkan ekspresi praksis masyarakat Salatiga langsung bisa kami jumpai. Itu semua gratis dan datang dengan sendirinya ke rumah kami. 
7. Meningkatnya hubungan-hubungan di antara kami. Ya, baik kami dengan tetangga, tetangga dengan sesama tetangga, maupun agen-agen hubungan lain yang memungkinkan terlibat: anak-anak kos, tamu-tamu luar kampung, sanak keluarga yang datang berkunjung, pemasok komoditas dagangan kami, dll.
Masih ada banyak keuntungan yang kecil-kecil, namun pendeknya, dengan frase 'Pintu Srawung' saya harap cukup menggambarkan betapa interaksi, hubungan, dan relasi baru bisa dibangun sedemikian rupa sebagai 'keuntungan' sosial yang harganya sudah barang tentu lebih mahal dari pada laba riil kios kami. Keuntungan sosial yang tentu bakal tak terbeli sampai kapanpun.

Rabu, 28 September 2011

KEMATIAN-KEMATIAN YANG MENGEJUTKAN

Pagi ini (29/9) seorang teman kantor menceriterakan betapa terkejutnya ia saat mengetahui tetangganya meninggal di usia muda (katanya kelahiran 1969). Padahal, lanjut teman saya itu, beberapa jam sebelumnya suami teman saya itu baru saja bersua almarhum. Selidik punya selidik almarhum ternyata kena serangan jantung. Belum seminggu yang lalu, telah ada kematian-kematian yang mengejutkan seperti itu: seorang jendral purnawirawan yang mati di tengah acara keagamaan, seorang bayi 10 bulan yang mati di gendongan Budhenya, dan beberapa cerita jauh yang menyertainya. Kematian-kematian yang mengejutkan betapa seringnya kita temukan: dua saudara tulang punggung keluarga yang mati karena kendaraan yang mereka tumpangi ditabrak bus Sumber Kencono di Mojokerto, ibu dan anak tulang punggung keluarga yang mati sebagai korban tabrak lari di Bogor, seorang suami yang isterinya mati terinjak-injak saat hendak mencari selamat dalam kebakaran KMP Kirana, semua karena mati mendadak bahkan ada yang tidak sempat pamit. Namun, kepergian Hendra Cipta, Utha Likumahua, Jendral Kunarto, dan lain-lain pun juga mengejutkan meski jauh hari didahului sakit. Jadi? Ya, agaknya kematian -mendadak atau tidak- tetap mengejutkan. Alias, setiap kita yang masih hidup selalu tidak siap mengalami kematian orang lain. Apalagi jika yang mati itu memiliki hubungan emosional, tradisional, famili, dll.

One Stop Service: Strategi Jitu Pemasaran Pariwisata

Pagi ini di Kompas TV ditayangkan diskusi tentang pemasaran pariwisata Indonesia yang menghadirkan narasumber Yanti Sukamdani (Ketua PHRI) dan Cintya Tirayoh (Putri Pariwisata 2010). Semua pendapat baik dari narasumber maupun dua host-nya baik adanya. Sebab, keempatnya sangat menguasai strategi pemasaran pariwisata. Namun ketika sampai pada titik di mana pemasaran telah dilakukan dengan berbagai cara dan tidak juga berhasil menumbuhkan kesadaran berwisata bangsa Indonesia, keempatnya nampaknya setuju dengan pendapat host pria yang menyatakan letak geografis Indonesialah yang menghambat kinginan turis domestik untuk mau mengunjungi Papua, Sulawesi, NTT dan lain-lain destinasi wisata yang sulit dijangkau secara normal. Keempatnya lupa tujuan berwisata itu apa. Seandainya mereka mau memosisikan diri sebagai 'konsumen' pariwisata tentu akan tahu tujuan itu. Berwisata dimaksudkan untuk menyegarkan diri dengan melupakan gangguan apapun yang selama ini dialami dengan menikmati seluruh kemudahan yang mampu dibeli. Untuk apa ke tempat jauh di Indonesia jika perjalanannya saja menyita waktu, tenaga, dan biaya hampir 80% alokasi anggaran berwisata itu? Dengan demikian, berdasarkan pengalaman pribadi, tujuan wisata yang paling menarik tetap yang one stop service. Sekali datang bisa dapat semuanya. Dalam berbagai kunjungan kerja ke kota-kota di pelosok Indonesia yang dipromosikan pariwisatanya, saya justru tidak pernah sekalipun mengunjungi tempat wisata itu, karena begitu kompleksnya 'jalan' menuju ke sana: moda angkutannya, informasinya, akomodasinya, keamanannya, dll. Hanya mereka yang memiliki tujuan sekunder bahkan tertier seperti nasionalisme, idealisme, konsumerisme, borosisme yang mau mengorbankan alokasi 80% anggaran yang dimilikinya. Tetapi, tetap mayoritas wisatawan domestik menghendaki one stop service. Sekali jalan dapat semuanya: pantai, mall, rumah makan, budaya, gunung, cinderamata, dan lebih-lebih kesegaran jiwa raga. Itulah mimpi wisatawan domestik sementara ini seperti yang dinyatakan Yanti Sukamdani dalam uraiannya. Mengapa turis domestik lebih suka ke Bali, Yogya, Malang, Jakarta, Bandung? Karena, di sana mereka bisa dapatkan 'semuanya' meski sebagian sangat artifisial. Jadi, kapan masyarakat penyedia pariwisata Indonesia bisa goes to one stop service ... ?

Selamatkan Indonesia dengan ...

Beberapa waktu lalu koran Kompas memuat tiga tulisan di sekitar tema Filsafat Ilmu (Epsitmologi). Pertama, tulisan Daoed Yoesoef yang mengritisi lemahnya peran ilmuwan terhadap pengembangan ilmu yang dipilih mereka masing-masing. Kedua, tulisan Mart berjudul 'Selamatkan Indonesia', yang menyatakan bahwa Indonesia hanya mungkin eksis jika stakeholder keilmuan Indonesia peduli dengan tumbuh kembangnya ilmu-ilmu. Dan, ketiga, publikasi tentang peringkat Perguruan Tinggi Indonesia yang terus merosot dibanding perguruan tinggi dunia. Sebagai dosen mata kuliah dan penulis buku Filsafat Ilmu & Logika, saya merasa disadarkan akan kenyataan-kenyataan memrihatinkan di dunia keilmuan ini. Jika indikator keberhasilan perguruan tinggi tersimpul dalam identitasnya sebagai research university maka justru di dalam dan melaluinya ternyatakan kelemahan 'kita'. Tiga indikator sebagai research university gagal kita penuhi. Baik publikasi ilmiah, penelitian ilmiah, maupun pengabdian masyarakat komunitas ilmiah Indonesia sungguh rendah bahkan dibanding Thailand, Malaysia, Filipina, dan terakhir Vietnam. Dalam diskusi-kelas mata kuliah Filsafat Ilmu & Logika di Fakultas Psikologi UKSW kami sampai pada kesimpulan bahwa titik keberangkatan yang dipilihlah yang menyebabkan seluruh rangkaian keilmuan berikutnya menjadi rapuh dan rentan ambruk. Sejak awal kuliah, mahasiswa tidak dilibatkan ke dalam dunia publikasi, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Sehingga, mereka menjadi tercerabut dari berbagai 'akar' yang seharusnya memerkokoh bangunan keilmuan mereka. Fakta menunjukkan, banyak mahasiswa yang bergulir begitu saja saat kuliah: yang penting kuliah, yang penting sarjana, ikut dalam arak-arakan 'sepantasnya' (dalam arti sepantasnyalah anak sekarang kalau kuliah dan sarjana). Kalau disurvai acak kasar, mungkin hanya satu dari seratus mahasiswa S-1 yang telah memiliki sesuatu yang hendak ditulis menjadi skripsi di awal perkuliahan. Jadi, ajakan selamatkan Indonesia yang diteriakkan Mart harus mendapatkan arti konkret dengan berani memutus mata rantai keterpurukan dunia keilmuan Indonesia dengan berbagai cara, antara lain memersiapkan mahasiswa sedini mungkin untuk gemar meneliti, gemar memublikasikan pikirannya, dan gemar mengabdikan ilmu yang digelutinya untuk kesejahteraan banyak pihak.

Bayang-bayang Kebesaran Presiden Soeharto ...

Kami sekeluarga hidup dalam komunitas 'miskin' di lingkungan 'berada' bernama kampung Kemiri, Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia. Kampung Kemiri berada tepat di ring satu UKSW. Karena itu tidak heran jika menjadi salah satu jantung perekonomian Salatiga. Sayang tidak semua masyarakat 'asli' Kemiri beruntung menikmati 'kemewahan' yang terjadi di kampung mereka. Banyak dari mereka yang menjual tanah dan menghidupi diri dari sektor informal: mengojek, kios mini, kos, cucian, dll. Nah, kemarin malam (Rabu, 28/9) seorang pengojek datang ke rumah untuk pinjam uang untuk melunasi cicilan motornya. Omong punya omong, si pengojek itu berkeluh kesah mengenai keadaan perekonomian yang tak kunjung membaik dan berpihak secara ramah kepada dirinya. "Masih mending zaman Pak Harto. Uang kita memiliki nilai yang sangat baik", katanya. Seorang teman yang mengantarnya membenarkan. Saya sendiri tidak kuasa menanggapinya demi mengetahui hati kecil saya juga membenarkan pernyatan itu. Sampai kami bubaran, kami bungkam seribu bahasa tentang kata-kata tadi. Apa makna kata-kata itu? Relevansinya dengan pemerintahan sekarang apa? Benarkah pemerintah setelah Presiden Soeharto demikian tidak mampunya sehingga gagal memenuhi tuntutan seorang tukang ojek agar nilai rupiah kembali membaik? Masih adakah kesempatan ke sana di tengah realitas yang memberhalakan 2014?

MENULIS SEBAGAI GAYA HIDUP

Seorang sejawat dari Jerman hingga kini (sejak kedatangan di tahun 1994) merasa heran mengetahui ada mahasiswa Indonesia yang berulang kali gagal menerapkan penggunaan kata depan 'di' dalam tulisan-tulisan mereka. Kalau hanya salah ketik bisa dimaklumi, tetapi kalau berulang tentu bukan salah ketik. Pagi ini, saya berkesempatan berdiskusi dengan sesama pengajar Filsafat Ilmu di UKSW yang juga merasa prihatin akan kemampuan berbahasa mahasiswa. Beliau menyatakan rendahnya kemampuan berbahasa akibat kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indonesia yang kebabalasen mengembangkan mata pelajaran yang ada. Dahulu masih ada mata pelajaran 'Mengarang' yang memberi kesempatan siswa untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan logika dengan baik. Di perguruan tinggi juga ditempuh 'apresiasi sastra' dengan menelaah karya-karya sastra besar Iindonesia maupun dunia. Sehingga, stok penulis dan tulisan begitu banyaknya. Sebagai Redaktur Pelaksana jurnal ilmiah yang belum terakreditasi pun dahulu saya dimudahkan dengan banyaknya isi bank tulisan kami. Tak jarang, tulisan resensi buku menumpuk berpuluh-puluh hingga bingung mana yang harus diterbitkan. Bukan karena banyaknya saja, namun karena mutunya juga sangat baik. Buku-buku yang diresensi juga buku berkelas. Dahulu masih banyak mahasiswa yang 'nyantrik' belajar menulis ilmiah kepada saya. Beberapa berhasil menjadi penulis. Belakangan, meski sudah disediakan fasiltas dan sarananya, masih saja sulit menemukan penulis yang baik dan benar. Begitu sulitnyakan menulis bagi kita? Tidak dan ya. Tidak sulit menulis ketika tulisan diartikan sebagai yang gitu-gitu aja. Lihatlah mereka yang menulis SMS itu! Tidak peduli di mana, sedang nyetirkah, ada orang tua yang menyapa, atau lain-lain kesempatan, menulis SMS tetap harus dilakukan. Dalam arti dangkal dan sempit, menulis memang tidak sulit. Tetapi tulisan demikian tentulah bukan tulisan sistematis apa lagi ilmiah. Kita sedang membutuhkan tulisan-tulisan sistematis dan ilmiah. Sulit, jika tulisan itu harus memenuhi dua tuntutan itu. Jika mau percaya, jadikan dahulu menulis sebagai kebutuhan dan kemudian gaya hidup baru lahir penulis dan tulisan yang baik dan benar. Selama menulis masih merupakan momok, hantu, apalagi musuh selama itu pula akan kita jauhi. Kalau menulis merupakan gaya hidup yang memenuhi standar tertentu maka menulis menjadi begitu mudah dan menyenangkan ...

WAJAH LAIN MAHASISWA INDONESIA

Siang ini seorang teman sesama Senior Member GMKI dan sesama alumnus F.Th. UKSW mengirimkan surat elektronik dan melampirkan artikel/reprotase dari edukasi.kompas.com yang berjudul Lima Wajah Mahasiswa Indonesia. Artikel itu merupakan berita saat pengukuhan guru besar ilmu pendidikan moral Prof. Masrukhi di Unes Semarang. Kata Prof Masrukhi ada lima tipe wajah mahasiswa Indonesia, yaitu:

1. Wajah mahasiswa yang idealis-konfrontatif, yang cenderung aktif menentang kemapanan, seperti melalui demonstrasi.
2. Wajah mahasiswa idealis-realistis, lebih kooperatif dalam perjuangan menentang kemapanan.
3. Wajah mahasiswa oportunis, yang cenderung mendukung pemerintah yang tengah berkuasa.
4. Wajah mahasiswa profesional, yakni mereka yang hanya berorientasi pada kuliah atau belajar.
"Empat wajah mahasiswa ini ternyata hanya ada sekitar 10 persen, " kata Prof.Masrukhi. Sisanya, adalah tipe wajah mahasiswa yang ke-5.
5. Wajah mahasiswa rekreatif yang berorientasi pada gaya hidup glamour dan bersenang-senang,"

Nah, jika diamati, sebenarnya ada tipe lain, yaitu mahasiswa yang kecelakaan kalau tidak mahasiswa yang celaka. Mereka menjadi mahasiswa karena celaka akibat berbagai hal. Jadi, lebih dari sekadar rekreatif, mereka justru destruktif karena menjadi virus dan racun bagi mahasiswa lainnya. Fakta-fakta mahasiswa baik-baik yang terjerumus atau dijerumuskan ke berbagai lubang kenistaan adalah buktinya. Kalau mereka glamour, glamournya dari sumber yang tidak baik. Kalau mereka bersenang-senang, kesenangannya mengusili yang lain. Nah, kalau bernostalgia, kita termasuk mahasiswa tipe wajah mana, ya ...? Saya sendiri, dulu, selain nulis dan berorganisasi, lebih sering menjadi pemburu beasiswa ... .